Satu tahun berlalu, Alhamdulillah.
Sedikit pun tidak terbayang bahwa aku bisa bertahan sejauh ini menjadi seorang analis kesehatan.
Setahun lalu, perlu waktu satu tahun setengah untuk bisa mengambil keputusan ini. Bukan waktu yang sebentar. Aku bertahan satu setengah tahun setelah lulus kuliah hanya untuk meyakinkan diri sendiri apa aku layak untuk pekerjaan ini? Apa aku mampu bertanggung jawab?
Dulu orang-orang banyak bertanya, berkomentar, dan mengkritik dengan pedas atas keputusanku.
Duh kenapa nganggur, duh ilmunya sia-sia, duh dan duh dan duh.
Hatiku terluka sangat banyak, tapi Alhamdulillah Allah menguatkanku untuk tetap berpikir sampai matang.
Satu tahun setengah doaku banyak, permintaanku banyak, aku hanya tahu Allah Maha Mendengar. Aku jadi sangat manja memohon pekerjaan yang sesuai keinginanku. Dengan penuh rahmat-Nya aku tidak menyangka akan dikabulkan.
Aku akan bilang ini benar-benar ajaib.
Pengetahuanku sangat terbatas. Selama sekolah sampai lulus kuliah aku hanya tahu bahwa gaji analis kesehatan jauuuuuh di bawah kelayakan. Nominal kecil dangan waktu dan tanggung jawab kerja segambreng. Jujur aku nggak rela. 4 tahun mati-matian kuliah dapat pekerjaan macam itu. Yang bener aja kan ya?
Dahlah kalau ngomongin kuliah, tinggal keputusan Allah aja. Kalau kata Allah ajal ya ajal. Pokoknya sekritis itulah kuliah analis bagiku.
Waktu berlalu, aku jenuh. Jenuh sampai stress. Sering sakit karena jenuh di rumah terus, mikir terus, aksinya nggak ada. Memang, aku juga bantu admin di kerjaan Bapak, yang kalau ngomongin gaji enaknya ke mana-mana. Tapi namanya hati nggak senang, mau duit sebanyak apa bawaannya tetap rungsing. Maklum lah darahmuda, idealis parah. Hati nomor 1, logika entar aja.
Lalu aku ambil keputusan yang besar. Besar banget waktu itu.
Aku kan insecure banget untuk jadi analis, akhirnya aku ambil tawaran kerja di puskesmas tanpa bayaran biar aku sambil belajar lagi.
TANPA BAYARAN.
Orang yang nggak mau kerja analis karena gajinya sedikit, mau kerja tanpa bayaran. Di mana logikanya? NGGAK ADA.
2 yang meyakinkanku atas keputusan itu. Tentu orangtua yang pertama, berikutnya, namanya Bapak Wito.
Bapak Wito ini adalah Tata Usaha di puskesmas yang menawarkan aku untuk "belajar" di puskesmas. Satu kalimat pamungkas beliau yang memompa seluruh energiku.
"Kerja aja dulu, cari pengalaman, uang pasti ngikut. PASTI"
Allah kalau kasih wejangan, random dari siapa aja.
Sampai di situ bukan tanpa kendala. Rupanya puskesmas sedang tidak butuh tambahan analis kesehatan. Ibu petugas lab terus mempengaruhi aku untuk cari pekerjaan lain, di tambah konflik salah paham dengan kepala puskesmas. Benar-benar hanya butuh satu minggu untuk cari masalah, ada- ada aja lah namanya nggak rejeki.
Dari sana, dari derai-derai air mata konflik dengan kepala puskesmas, aku ikuti anjuran Ibu Elok, petugas lab yang menyarankan aku melamar kerja di tempat aku sekarang.
Dan, selalu ada-ada aja namanya rezeki.
Waktu aku melamar kerja, kebetulan ada masalah dengan pegawai lama yang dengan kehadiranku dia di rumahkan. Aku pun dapat pekerjaan. Nggak nyaman pasti, tapi aku sama sekali nggak berniat untuk itu.
Lalu apa ajaibnya pekerjaanku?
1. Aku hanya bekerja setengah hari, 07.30-11.30
2. Gaji setara dengan lab swasta yang pernah aku lamar dengan waktu kerja sampai sore
3. Tugasku hanya menjadi analis, admin sudah ada, yang bersih-bersih sudah ada
*karena biasanya lab swasta tidak punya admin terpisah, dan seluaruh peralatan kerja dicuci sendiri
4. Dekat dengan masjid
*meskipun atasan non muslim, tapi kebutuhan ibadah bisa tetap dilakukan dengan mudah.
5. Atasan adalah dokter senior yang baiiiik
Sampai hari ini, sejak 15 Februaru 2019, aku cuma bisa bilang ini hadiah. Dengan semua keburukan di masa lalu, dosa dengan profesiku, aku tidak menyangka Allah mengijinkanku "belajar" lagi dengan gaji yang memadai.
Alhamdulillah
Aku harus bersyukur, amanah , dan bertanggung jawab sekuat tenaga.
Selasa, 21 April 2020
Labtalk
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar