Tes CPNS punya keajaiban tersendiri untukku, di setiap stepnya ada aja hal yang nggak terduga. Dari sekedar mau daftar online di website, doang, sampai harus ngantar berkas langsung ke instansi.
Aku lulusan DIV-Analis Kesehatan. Tahun ini di Kalimantan Selatan, hanya Kabupaten Tanah Bumbu yang mencari spesialisasi jurusan tersebut. Itupun hanya 2 orang, dan satu-satunya kampus di Kalimantan Selatan yang mengajarkan program studi tersebut hanya di kampusku. Jadilah sebagian besar peserta yang bersaing pun ya juga teman-temanku.
Tapi, tidak semua teman-temanku adalah peserta CPNS.
Aku
punya 6 orang teman akrab, yang 3 apply ke CPNS, sisanya tidak. Dian ke
Kemenkumham, Ade dan Feby sama denganku ke Kab. Tanah Bumbu.
Tahun
ini seleksi CPNS masih sama seperti tahun sebelumnya, pendaftaran bisa online.
Awalnya membahagiakan, karena dipikir jauh dekat instansi, pelamar nggak perlu
harus menghampiri. Nyatanya enggak. Kab. Tanah Bumbu khusus meminta pelamar
mengantar berkas langsung ke kantor BKD-nya. Tidak boleh ekspedisi, tidak boleh diwakilkan.
Pikiranku
sempat goyah, sebab jarak Banjarmasin-Batulicin (Ibu Kota Tanah Bumbu) memakan waktu 6-7 jam perjalanan
darat. Apalagi aku nggak pernah bepergian sejauh itu, sendiri.
Harus banget nih cuma buat ngantar berkas?
Ade menjadi satu-satunya harapanku untuk diajak pergi bersama, karena dia juga berdomisili di Banjarmasin. Sedangkan Feby? Sejak bekerja dia sudah berdomisili di Tanah Bumbu. Jadi kalau Ade sampai nggak jadi
pergi, ya aku juga nggak jadi pergi. Enggak jadi ngelamar CPNS sekalian.
Ade sendiri juga sempat maju mundur. Pernikahan yang tinggal menghitung bulan dan
syarat tidak mengajukan pindah minimal kerja 20 tahun, membuatnya berpikir ulang. Untungnya, orangtua dan pasangan Ade tetap mendukung dengan motivasi, "Coba aja dulu"
Alhamdulillah saat itu ada tiket pesawat murah menuju Batulicin. Dengan bujuk rayuku yang
males perjalanan darat ini, Ade pun setuju untuk naik pesawat.
Pikirku,
"Banjarmasin dan batulicin cuma punya 2x penerbangan, jam 7 dan jam 10
pagi. Kabar baik. Kami bisa berangkat pukul 7, sampai di BKD pukul 8, kumpul
berkas, pulang. Datang pagi pasti nggak akan ngantre lama, jadi bisa pulang
naik pesawat lagi. Hihihi"
(First
Case Closed)
***
Tiba di Bandar Udara Bersujud Batulicin.
Kaget
sih enggak, namanya bandara kecil dan pesawat kecil ya memang akan sesunyi itu.
Masalahnya, sesunyi itu bayanganku tidak seberapa dari sesunyi itunya
kenyataan. Kami kira kami bisa pilih untuk naik ojek ke BKD, paling jalan kaki
ke ke luar area bandara, ada jalan besar dan ketemu tukang ojek. Pada
kenyatanya, kami nggak tahu di mana jalan besarnya.
Sejauh
mata memandang hanya ada daerah rerumputan dan kesunyian.
Tidak
punya pilihan lain dan satu-satunya yang ada hanya taksi bandara, mau tidak mau
kami harus memilih taksi. Tahu kan gimana mahalanya taksi bandara. Ya meski
mahal itu relatif.
Harga
150 ribu untuk perjalanan 10-15 menit menuju BKD Tanah Bumbu?
Deal!
(Second
Case Closed)
***
Benar
saja, dari bandara hingga keluar tidak kami dapati keramaian yang berarti,
apalagi pangkalan tukang ojek ffhh.
Meski sesunyi itu, perjalanan menuju BKD Tanah Bumbu tidak semulus itu.
Aku,
Ade, dan supir taksi tidak ada yang benar-benar tahu di mana lokasi BKD Tanah
Bumbu. Sepanjang perjalanan kami mengandalkan gps. Sudah dekat tempat tujuan, bahkan gps bilang sampai, tapi kami tetap nggak tahu gedungnya di mana.
Dan
ternyata gedungnya tidak di pinggir jalan. Masuk agak kebelakang dan melewati turunan jalan.
Tapi rasa lega menemukan gedung BKD tidak bertahan lama. Seketika kami sadar nggak tahu caranya
pulang. Bandara dan tempat ini tidak bisa disisir dengan jalan kaki. Medannya
sih oke, suasananya yang enggak.
Sepanjang
perjalanan, sebagian besar pemandangan didominasi rawa dengan rumput tinggi
menjulang. Aku tidak tahu apakah itu satu-satunya jalan, atau hanya jalan
pintas. Tapi hari itu, hanya jalan itu yang kami tahu. Kawasan di sekitar BKD
juga sangat sunyi. Selain gedung-gedung, tidak ada tanda-tanda pemukiman. Tidak
ada pemukiman, tidak ada transportasi. Tidak ada pemukiman, tidak ada pedagang
makanan. Terlihat jelas kawasan ini dibuat khusus perkantoran pemerintah. Dari
mulai kantor gubernur hingga kantor instansi spesifik lainnya.
Jalannya
masih baru, gedungnya masih baru, semuanya masih baru.
Dengan
berbagai pertimbangan kami pun memutuskan untuk membayar lagi taksi agar
menunggu kami. Paling lama 1 jam.
Deal!
Turun
dari mobil dengan wajah sumringah. Tepat di halaman BKD aku dan Ade bertatapan, kemudian berjalan kembali menuju taksi.
"Pak, mohon maaf, bapak pulang aja. Antreannya panjang banget, kami nggak yakin selesai dalam 1 jam."
Kebayang
kan malunya gimana? Tapi apa mau dikata. Ekspektasi kami juga hancur melihat
kerumunan manusia di halaman BKD pagi itu.
Entah
bagaimana cara kami nanti pulang, khawatir banget, tapi yaudahlah dipikir
belakangan.
(Third
Case Closed)
***
Dua
orang tersesat ini melenggang dengan polosnya. Meminta nomor antrean bersamaan
dan mendapatkan 2 nomor berjauhan. 257 dan 264. Sempat protes, gimana bisa 2
nomor yang keluar bersama punya jarak yang jauh
Tapi
tidak di gubris dong.
Karena
kami nggak suka keributan, ya di terima dengan legowo sajalah, Ffh.
Dengan
perasaan amburadul kami pun duduk dan menunggu panggilan. Mencoba mendengarkan
baik-baik nomor yang disebutkan speaker sambil croscheck lagi dokumen yang kami
bawa.
"
23, 24, 25.."
Sedikit
terkejut. Pikir kami, "Astaga, apa mereka datang sebelum subuh?!"
Ada
yang aneh, tidak ada peserta yang menghampiri nomor itu. Semua yang menunggu
mengaku nomor mereka di baris ratusan. Speaker terkejut, kami jauh lebih
terkejut. Tapi speaker tidak menyerah, mereka terus memanggil angka-angka
puluhan itu hingga akhirnya ada yang datang.
Beberapa
peserta saling bertanya perihal waktu kedatangan, ternyata yang dapat nomor
kecil datangnya juga tidak lebih cepat dari yang dapat nomor ratusan. Seluruh
peserta menghela nafas, menyadari nomor antre dibagi acak.
Kami
semua kesal, merasa percuma datang pagi-pagi tapi dapat nomor tinggi. Pernah
ada yang komplain dan minta ganti, katanya "Nomor habis, peserta lain aja
terpaksa harus pakai nomor antre yang ditulis tangan"
Aku
tidak tahu sistemnya, tapi seandainya, seandainya saja, memang tidak sempat
menyusun nomor, alangkah lebih indah jika pembagi kartu mencatat angka keluar
dan berkoordinasi dengan speaker. Agar yang dipanggil sesuai dengan waktu
kedatangan. Datang duluan, pulang duluan.
Apalah aku ini, hanya orang awam yang berandai-andai. Hehe..
Aku
dan Ade jadinya luntang lantung. Nggak ada alat transportasi, nggak bisa
kemana-kemana untuk mengisi waktu. Tapi kemana mana juga bingung mau kemana.
Belum
lagi pemanggilan nomor seolah berjalan sangat lambat. Mendengarkan hitungan
yang dipanggil, rasanya semakin mengenaskan. Jauh banget. Takut rasanya jika
sampai malam hari.
Demi
mengusir rasa khawatir, kami jadi begitu aktif melakukan berbagai hal.
Pindah-pindah duduk, menyisir gedung BKD, nguping obrolan orang, dan juga
jajan. Lumayanlah ada beberapa pedagang, ada pentol, rujak, minuman dan mie
instan. Kami wisata kuliner, icip semua pentol, Ade bahkan beli rujak, aku juga
beli es cendol. Para pelamar merasakan sensasi piknik. Alakadarnya.
Puncaknya
adalah saat memasuki jam makan siang. Sebagai penderita magh kronis, aku dan Ade mulai kelimpungan. Tidak ada rumah makan atau kantin di sekitar gedung BKD. Kami sedikit pun tidak berminat menggali penyakit dengan mengenyangkan
perut memakan pentol dan mie instan. Kami perlu nasi, kami perlu sayur dan lauk
pauknya. Satu-satunya cara, jalan kaki keluar menuju jalan besar.
(Fourth
Case Part 1)
***
Rizki
Mulanova jalan kaki jauh-jauh?
Hampir
mustahil jika tidak ada Ade. Sebab semua temanku tahu, betapa lemahnya aku
untuk jalan kaki. Tapi Ade, setiap kali aku mau kembali dan nggak jadi, dia
akan bilang, "Ayo Nov, sedikit lagi, dari pada nggak makan"
Ya
Tuhan mengenaskan sekali 😂
Tapi
sungguh, perjalanan dari gedung BKD ke jalan besar itu sangat melelahkan.
Jalannya masih tanah merah bebatuan, menanjak, matahari juga sedang terik menyengat, apalagi perut
lapar, rasa-rasanya aku mau pingsan. Dalam keadaan seperti itu teman seoptimis Ade lebih penting ketimbang makanan, karena kalau dia nggak semangat kami nggak
akan sampai ke jalan raya.
Ini akan terdengar lebay, tapi saat berhasil mencapai jalan besar, aku begitu bangga dengan diriku sendiri. Pikiranku sederhana, "Aku nggak pingsan, ternyata aku cukup kuat 😂"
Baru
melihat jalan besar saja hati kami sudah berbunga-bunga. Padahal untuk
menemukan rumah makan, kami masih harus berjalan cukup jauh mengikuti arahan
gps.
Lagi-lagi
ada khawatir di benak ku, bagaimana jika di tengah perjalanan yang jauh ini
ternyata di gedung BKD nomor kami dipanggil??
Ahh
sudahlah, mustahil.
Setelah
jauh berjalan, kami pun sampai di sebuah rumah makan. Tampak seperti kantin,
karena terletak di belakang gedung instansi.
Rasanya
sangat sungkan, malu, bingung, gimana kami 2 orang perempuan dengan tas serasa
turis, ikut masuk ke tempat makan yang berisi orang-orang berseragam pegawai
negeri. Namun, perut kami mendominasi rasa malu, hehe..
Kami
masuk dan bertanya dengan penuh harap, tapi sayang rezeki belum ketemu tuannya.
Siang itu makanannya habis, untuk menyiapkan kembali perlu waktu lama sebab
bahannya masih di pasar. Aku ingat betul, itu pukul 2 siang, wajar sih makanannnya habis.
Rasa
bingung luar biasa membuat kami memutuskan menghubungi orangtua masing-masing.
Dengan niat bertanya di mana rumah keluarga kami yang ada di Batulicin. Kami
perlu ditolong. Hehe
Tapi
tetap sambil jalan, dong. Barangkali di depan masih ada pedagang lain.
Pucuk
di cinta ulam pun tiba. Meski berjalan lebih jauh dari sebelumnya, tapi kami
berhasil berttemu tukang sate. Bahagiannya tiada tara.
Makan
sate rasanya tidak pernah senikmat hari itu. Benar ya kata orang, enak tidaknya
makanan bukan dipengaruhi jenisnya, tapi perjuangannya.
Seusai
makan, tiba-tiba ayah Ade telepon dan bilang katanya istri om Ade punya kantin di
kantor gubernur dan rumah mereka dekat dari kantor BKD, dan om nya mau
ngantarin makanan buat kami dan saat itu sedang dibungkuskan.
Waw
Dengan
rasa sungkan, bergegas kami bilang nggak usah dan maaf merepotkan.
Perjalan
pulang menuju BKD jadi terasa lebih melegakan. Kami sudah bisa bercanda. Perut
kenyang memang berpengaruh ya hahaha
(Fourth
Case Part 2/Closed)
***
Setiba
di BKD rutinitas kami kembali seperti semula. Duduk duduk menunggu. Nomor
antrean belum menyentuh angka 200. Rasanya sangat menyebalkan.
Tapi ada yang spesial.
Beberapa
kali kami menggerutu dengan waktu, tapi sebagian besarnya kami habiskan untuk
berbagi cerita. Jujur, meski terkumpul satu komplotan Aku dan Ade jarang
ngobrol, apalagi bisa saling curhat. Entahlah, aku merasa Ade punya sikap yang
dewasa yang nggak sejurus dengan aku yang rewel ini, jadi aku agak segan.
Siapa
sangka, rasa kesal menunggu mengeluarkan sisi lain kami. Kami ngobrol panjang
kali lebar. Aku mendengarkan Ade mengeluh. Orang yang selalu paling kuat dan
jarang mengeluh di antara kami. Mengeluhkan banyak keragu-raguan dalam
keputusannya, kekonyolannya, bahkan hal-hal yang sangat sensitif di hidupnya.
Aku senang Ade terbuka, aku juga senang bisa terbuka dengannya. Sikapnya yang
optimis dan berempati membuat cerita-cerita kita terasa sangat dihargai, tidak
dibanding-bandingkan, apalagi diremehkan. Orang sepanikkan aku bahkan bisa jadi
lebih kalem untuk berhadapan dengan situasi yang baru. Aku belajar banyak dari Ade, terutama tentang bagaiamana orang bisa merasa tenang di samping kita.
Ternyata, hanya karena kita satu geng, berteman beberapa tahun lamanya, bukan berarti kita tahu titik 0 nya teman kita.
Jangan
kira kami berderai air mata ya, karena sepanjang cerita kami hanya tertawa-tawa
dan menggerutu ke nomor antrean wkwkwk
Pembicaraan
kami terhenti saat nomor antrean sampai. Tepat pukul 5 sore, urusan kami
selesai.
Waktu
tunggu yang sangat berkualitas.
Apapun
yang terjadi pada nomor antrean pengumpulan berkas di BKD Tanah Bumbu, aku
tetap salut dengan kinerjanya. Antrean setelahku mencapai angka empatratusan,
di hari yang sudah sesore itu mereka berkomitmen untuk menuntaskan. Meski harus
hingga malam. Padahal mereka pasti datang lebih pagi dari kami dan harus pulang
lebih larut demi membereskan berkas-berkas.
Pelayanan
tanpa cela. Semangat bekerja para pegawai negeri. Semoga tetap terbuka untuk
perbaikan dan perubahan.
***
Belum
selesai.
Hari
sudah mulai gelap kami jadi harus meminta tolong pada om Ade untuk menjemput
kami. Menumpang di rumah beliau sementara untuk istirahat sholat mandi, sembari
menunggu jemputan travel ke banjarmasin.
Allah
memang selalu ajaib dalam mengatur banyak hal.
Malam
itu ternyata ada pesta di rumah om Ade. Merayakan ulang tahun ke 4, anak
perempuannya. Istri beliau, yang merupakan orang Makassar asli dan pemilik
kantin menyajikan hidangan mie titi dan cemilan pisang goreng keju untuk tamu
undangan. Yang qodarullah, juga termasuk kami.
Itu
pertama kalinya kami makan mie titi dan rasanya enak banget! Aku dan Ade sampai
shock, terharu. Pisang goreng kejunya juga renyah sempurna dengan rasa manis
coklatnya yang pas. Kalau nggak malu pasti kami minta tambah. Belum lagi bahasa
makassar yang kental di rumah itu membuat kami merasa tidak sedang di
Kalimantan, seolah sedang berwisata sampai Sulawesi. Hihihi
Setiap
suapan mengingatkan kami tentang perjalanan seharian tadi. Rasanya semua lelah
terbayar lunas dengan suasana makan menggembirakan di tengah syukuran ulang
tahun.
Jam
8 malam travel kami datang, kami pun berpamitan pulang. Siapa sangka, rencana
1-2 jam di Batulicin berubah jadi 12 jam lamanya.
***
Aku
pikir poin dari perjalanan ini bukan berkas lamaran CPNS, tapi pelajaran untuk
jangan cepat menyerah. Setiap kesulitan pasti akan dibayar dengan hal yang
sangat membahagiakan, yang kali itu dengan makan mie titi 😂
Sesederhana
itu.
![]() |
Inilah Foto Mie Titi Satu-satunya hal yang sempat didokumentasikan dari perjalanan hari itu |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar